Minggu, 14 Desember 2014

Reformasi Gereja



Reformasi Gereja
Oleh Acep Saepul Milah[1]

Reformasi Gereja merupakan sebuah upaya perbaikan tatanan kehidupan yang didominasi oleh otokrasi gereja yang menyimpang. Reformasi gereja adalah sebuah upaya perbaikan dan kembali pada ajaran gereja yang lurus, gerakan reformasi berupa sikap kritis terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh pihak Gereja Katolik pada waktu itu terutama adanya penjualan surat pengampunan dosa (disebut surat aflat).
Gerakan Reformasi Protestan merupakan kelanjutan dari Renaissans. Namun, terdapat perbedaan diantara keduanya, yaitu apabila Renaissans melahirkan prinsip kenikmatan hidup, manusia adalah mahkluk yang baik, dan mendewakan kekuatan manusia, maka Reformasi masi berpandangan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk korup dan bejat moralnya, sehingga harus percaya pada keimanan dan konformitas yang akan dicapai apabila manusia memiliki kehidupan spiritual yang sesuai iman kristiani yang sesungguhnya.[2] Walaupun ada perbedaan antara Renaissans dengan Reformasi, keduanya mempunyai kesamaan yaitu sama-sama merupakan bentuk perlawanan atas dominasi Gereja Katolik pada Abad Pertengahan, serta sama-sama terinspirasi oleh warisan intelektual Yunani dan Romawi yang menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat, dan didukung oleh perkembangan perdagangan, kapitalisme, dan merkantilisme pada abad 14-16. 
Gereja Katolik selama berabad-abad telah mendominasi kehidupan sosial Eropa abad pertengahan, pengaruhnya telah merasuk ke dalam setiap aspek kemasyarakatan dan kebudayaan Eropa. Sehingga gereja mendapatkan kekayaan yang sangat besar dan kekuasaannya lebih dominan daripada komitmennya untuk mencari kesucian di dunia dan keselamatan di masa mendatang. Kekayaan yang melimpah, kekuasaan yang luas membuat orang-orang gereja melupakan tugas-tugasnya. Mereka lebih mengutamakan kepentingan sendiri dari pada kepentingan umat, kaum pendeta, mulai dari paus dan bawahannya menjadi pusat badai kritik sejak akhir zaman Pertengahan.
Terdapat dua kelompok yang mendukung adanya Reformasi gereja, yaitu kelompok reformis sendiri ( Martin Luther, Johannes Calvin, Zwingli, John Knocx dll.) serta kelompok bangsawan. Rasionalisasi kelompok bangsawan mendukung reformasi ini adalah, pertama penarikan pajak dengan jumlah besar oleh Gereja, sehingga kas gereja melimpah dan mereka membangun gereja-gereja mewah di vatikan serta orang-orang gereja sering berpoya-poya dengan kekayaan teresebut. Ini memunculkan kecemburuan social kaum bangsawan local dan kemudian mendukung penuh para Reformis. Kedua adanya motivasi politik yaitu ambisi melepaskan diri dari kekuasaan imperium Romawi Katolik, serta keinginan untuk membentuk suatu Negara ( pemerintahan) sendiri yang dikenal dengan Negara bangsa ( Nasionalisme).
Renaissans telah merevitalisasi kehidupan intelektual Eropa dan dalam perjalanannya membuang keasyikan  abad pertengahan dengan teologi. Demikian pula , Reformasi menandai permulaan suatu cara pandang religius yang baru.[3] Reformasi Gereja lahir bukan dari orang-orang kalangan elit sarjana humanistic, melainkan dicetuskan oleh seorang biarawan Jerman yang tak dikenal dan teolog yang brilian yaitu Martin Luther. Sebelum Reformasi gereja dicetuskan oleh Martin Luther pada abad keempat belas, sewaktu para raja meningkatkan kekuasaan mereka dan sewaktu pusat-pusat perkotaan dengan orang awammnya yang canggih semakin banyak jumlahnya, rakyat mulai mempertanyakan otoritas gereja internasional dan kaum pendetanya. Para teoritis politik menolak klaim paus atas supremasi terhadap para raja.[4]
Penolakan atas supremasi Gereja terhadap Raja diikuti oleh upaya menjadikan Gereja sebagai sebuah badan spiritual tanpa otoritas dalam ranah politik.[5] Keinginan untuk menghilangkan otoritas Gereja semakin meninggi ketika penyimpangan Gereja terpublikasi, yaitu pemilikan tanah oleh keuskupan, nepotisme,pengangkatan kerabat menjadi pejabat, penjualan surat pengampunan dosa, serta tindakan cellibate oleh Kepausan. Pada abad ini juga seorang reformis Inggris bernama John Wycliffe menyerang kepausan. John Wycliffe menantang wewenang spiritual gereja dengan menterjemahkan injil ke dalam bahasa Inggris. Tulisannya kemudian menginspirasi tokoh reformis lainnya.

Martin Luther adalah anak dari Hans Luther seorang pekerja tambang di Mansfeld. Atas keinginan ayahnya Martin Luther kuliah di Universitas Erfurt dengan mengambil jurusan hukum. Akan tetapi ditengah perjalanan pada pertengahan musim panas 1505 M Luther tiba-tiba meninggalkan studinya dan masuk biara Augustinian di Erfurd. Di biara ini Luther memulai pencarian spiritual dan identitas pribadinya, dan pencarian keselamatan, didalam kurungan aturan biara yang disiplin dan ketat. Dia belajar kajian-kajian teologis disana dan mempersiapkan diri untuk pentahbisan. Pada 1506 M Luther memutuskan untuk menjadi biarawan.
Dalam menjalani kehidupan sebagai biarawan Luther mengalami keraguan tehadap konsep keselamatan. Lither sangat mempercayai bahwasanya keselamatan hanya tergantung pada iman dan bukan mempraktekan pekerjaan-pekerjaan seperti berpartisipasi dalam misa, sakramen dsb. Dia mempercayai bahwa iman itu diberikan bukan melalui perantara siapapun melainkan langsung oleh Tuhan. Luther berpandangan bahwa Umat Kristiani dapat menemukan makna kehidupan didunia hanya dengan membaca Alkitab dan iman tidak perlu yang lain. Pemikiran yang dikemukakan Luther menjadi kontroversi dikalangan sesama biarawan. Puncak kontroversi Luther terjadi ketika dia menempelkan 95 tesis didepan pintu gereja Wittenberg pada tahun 1517 M. Isi dari tesis tersebut adalah menentang seluruh gagasan mengenai penjualan surat pengampunan dosa yang dianggap korup dan tidak benar secara teologis, argument Luther mengenai peristiwa ini adalah bahwa keselamatan dapat diperoleh melalui perbuatan baik. Tindakan ini ia lakukan karena sudah merasa sangat kesal atas praktek-praktek penyimpangan yang dilakukan oleh Gereja Roma atas Alkitab. Luther sangat marah karena ajaran Alkitab dinodai oleh orang-orang gereja, seperti adanya aktivitas Gereja Katolik yang menjual surat pengampunan dosa untuk menambah kas pembangunan Gereja Saint Peter di Roma.
Pada tahun 1520 M Luther keluar dari anggota gereja dan membangun jemaat baru dan kemudian dia menerbitkan Address to the Chiristian Nobility of the Jerman nation. Luther meminta Kaisar Roma dan para pangeran Jerman mereformasi gereja dan menghilangkan kesetian kepada Paus. Tindakan ini membuat Gereja marah, Dewan Roma dan Paus Leo X menolak semua keinginan Luther untuk mereformasi Gereja Roma dan sekaligus pelarangan atas ajaranya. Gereja sangat menolak gagasan Luther tetapi orang-orang Jerman mendukung gagasanya. Paus leo X yang benci terhadap Luther meminta dan mendesak supaya mengkucilkan Luther, namun sebelum pengucilan terjadi Kaisar Romawi Suci, Carles X memanggil Luther dan memintanya untuk mengakui kesalahanya, Luther tidak mau mengakuinya. Atas sikap Luther tersebut maka dimulailah konfrontasi Luther dengan Kaisar. Dibantu Oleh Frederick, Luther bersembunyi di Kastil Wartburg, dan disanalah ia menerjemahkan Injil Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Jerman.[6]
Setelah mesin cetak ditemukan ajaran Martin Luther semakin cepat berkembang dan menyebar keluar Jerman. Ajaran Luther cepat menyebar karena gagasan pembaharuan yang dicetuskannya disukai banyak orang terutama golongan-golongan yang dirugikan oleh praktek-praktek keagamaan Gereja. Bangsawan Jerman sangat mendukung adanya Reformasi Gereja hal ini di latar belakangi adanya keinginan Kaisar Romawi Suci, Carles V, untuk meluaskan wilayahnya ke Jerman dan juga karena adanya dominasi orang-orang Italia dalam gereja. Kemudian dikalangan petani Luther dianggap sebagai pahlawan dan pembela kaum tertindas, hal ini dikarenakan Luther sering mengkritik tindakan Pangeran dan Gereja yang menindas para petani. Karena tidak tahan lagi atas tindasan oleh Pangeran, Gereja dan yang lainya pada tahun 1524 M, petani melakukan pemberontakan terbuka kepda tuan-tuan tanah. Tindakan ini memunculkan kemarahan Luther yang pada dasarnya seorang konservatif politis yang ragu menentang otoritas sekuler. Luther dan bangsawan menyerang balik pemberontak tersebut dan memadamkannya. Konflik antara Luther dan Gereja Roma akhirnya selesai atas campur tangan Kaisar Carles V dengan melakukan perjanjian Ausburg (1555 M) yang memutuskan tiap pangeran menentukan agama rakyatnya. Jerman Utara menjadi mayoritas protestan, Bavaria dan wilayah selatan lainya tetap mengikuti Katholik Roma.[7] 
Gerakan Reformasi Jerman menimbulkan semangat federalisme yang akan memunculkan benih-benih nasionalisme dikalangan bangsawan Jerman. Akibat dari dominasi Paus Eropa mengalami disintegrasi dan membagi Eropa dalam beberapa Negara kecil. Maka kemudian timbul konsep hak ketuhanan Raja, dimana mereka memiliki hak untuk memerintah dan warganya wajib mentaati. Luther menyebutkan bahwa sifat hak tersebut adalah sacral dan merupakan lembaga politik suci. Pemikiran inilah yang kemudian akan menumbuhkan benih-benih absolutism baru (royal absolutism), dan berdampak serius pada praktek dan pemikiran politik Barat dikemudian hari.[8]
Selain Martin Luther ada tokoh penting Reformasi Gereja di Eropa yaitu John Calvin dan Loyola. Konsep Reformasi Luther di terima dengan baik oleh teolog Prancis yaitu John Calvin. Calvinlah yang berperan besar dalam penyebaran Reformasi Gereja diluar Jerman dan Skandinavia.


[1] Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA  Jakarta.
Email acepsaepul09@gmail.com
[2] Desvian Bandarsyah, Laely Armiyati, Sejarah eropa 1, (Jakarta: Mita Abadi, 2014), hlm. 51.
[3] Marvin Perry, Peradaban Barat dari Zaman Kuno Sampai Zaman Pencerahan (Yogyakarta:Kreasi Wacana,2012),hlm.315.
[4] Ibid.,hlm.316.
[5] Desvian Bandarsyah, Laely Armiyati, op.cit., hlm. 52.
[6] Ibid.,hlm. 53.
[7] Ibid.,hlm.54.
[8] Ibid.

7 komentar: