Reformasi
Gereja
Oleh
Acep Saepul Milah[1]
Reformasi Gereja merupakan sebuah upaya perbaikan tatanan
kehidupan yang didominasi oleh otokrasi gereja yang menyimpang. Reformasi
gereja adalah sebuah upaya perbaikan dan kembali pada ajaran gereja yang lurus,
gerakan reformasi berupa sikap kritis terhadap penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh pihak Gereja Katolik pada waktu itu terutama adanya penjualan
surat pengampunan dosa (disebut surat aflat).
Gerakan Reformasi Protestan merupakan kelanjutan dari Renaissans.
Namun, terdapat perbedaan diantara keduanya, yaitu apabila Renaissans
melahirkan prinsip kenikmatan hidup, manusia adalah mahkluk yang baik, dan
mendewakan kekuatan manusia, maka Reformasi masi berpandangan bahwa manusia
pada dasarnya adalah makhluk korup dan bejat moralnya, sehingga harus percaya
pada keimanan dan konformitas yang akan dicapai apabila manusia memiliki
kehidupan spiritual yang sesuai iman kristiani yang sesungguhnya.[2]
Walaupun ada perbedaan antara Renaissans dengan Reformasi, keduanya mempunyai
kesamaan yaitu sama-sama merupakan bentuk perlawanan atas dominasi Gereja Katolik
pada Abad Pertengahan, serta sama-sama terinspirasi oleh warisan intelektual
Yunani dan Romawi yang menempatkan manusia sebagai makhluk terhormat, dan
didukung oleh perkembangan perdagangan, kapitalisme, dan merkantilisme pada
abad 14-16.
Gereja Katolik selama berabad-abad telah mendominasi
kehidupan sosial Eropa abad pertengahan, pengaruhnya telah merasuk ke dalam
setiap aspek kemasyarakatan dan kebudayaan Eropa. Sehingga gereja mendapatkan
kekayaan yang sangat besar dan kekuasaannya lebih dominan daripada komitmennya
untuk mencari kesucian di dunia dan keselamatan di masa mendatang. Kekayaan
yang melimpah, kekuasaan yang luas membuat orang-orang gereja melupakan
tugas-tugasnya. Mereka lebih mengutamakan kepentingan sendiri dari pada
kepentingan umat, kaum pendeta, mulai dari paus dan bawahannya menjadi pusat
badai kritik sejak akhir zaman Pertengahan.
Terdapat dua kelompok yang mendukung adanya Reformasi gereja,
yaitu kelompok reformis sendiri ( Martin Luther, Johannes Calvin, Zwingli, John
Knocx dll.) serta kelompok bangsawan. Rasionalisasi kelompok bangsawan
mendukung reformasi ini adalah, pertama penarikan pajak dengan jumlah besar
oleh Gereja, sehingga kas gereja melimpah dan mereka membangun gereja-gereja
mewah di vatikan serta orang-orang gereja sering berpoya-poya dengan kekayaan
teresebut. Ini memunculkan kecemburuan social kaum bangsawan local dan kemudian
mendukung penuh para Reformis. Kedua adanya motivasi politik yaitu ambisi
melepaskan diri dari kekuasaan imperium Romawi Katolik, serta keinginan untuk
membentuk suatu Negara ( pemerintahan) sendiri yang dikenal dengan Negara
bangsa ( Nasionalisme).
Renaissans telah merevitalisasi kehidupan intelektual Eropa
dan dalam perjalanannya membuang keasyikan
abad pertengahan dengan teologi. Demikian pula , Reformasi menandai
permulaan suatu cara pandang religius yang baru.[3]
Reformasi Gereja lahir bukan dari orang-orang kalangan elit sarjana humanistic,
melainkan dicetuskan oleh seorang biarawan Jerman yang tak dikenal dan teolog
yang brilian yaitu Martin Luther. Sebelum Reformasi gereja dicetuskan oleh
Martin Luther pada abad keempat belas, sewaktu para raja meningkatkan kekuasaan
mereka dan sewaktu pusat-pusat perkotaan dengan orang awammnya yang canggih
semakin banyak jumlahnya, rakyat mulai mempertanyakan otoritas gereja
internasional dan kaum pendetanya. Para teoritis politik menolak klaim paus
atas supremasi terhadap para raja.[4]
Penolakan atas supremasi Gereja terhadap Raja diikuti oleh
upaya menjadikan Gereja sebagai sebuah badan spiritual tanpa otoritas dalam
ranah politik.[5]
Keinginan untuk menghilangkan otoritas Gereja semakin meninggi ketika
penyimpangan Gereja terpublikasi, yaitu pemilikan tanah oleh keuskupan,
nepotisme,pengangkatan kerabat menjadi pejabat, penjualan surat pengampunan
dosa, serta tindakan cellibate oleh
Kepausan. Pada abad ini juga seorang reformis Inggris bernama John Wycliffe
menyerang kepausan. John Wycliffe menantang wewenang spiritual gereja dengan
menterjemahkan injil ke dalam bahasa Inggris. Tulisannya kemudian menginspirasi
tokoh reformis lainnya.
Martin Luther adalah anak dari Hans Luther seorang pekerja
tambang di Mansfeld. Atas keinginan ayahnya Martin Luther kuliah di Universitas
Erfurt dengan mengambil jurusan hukum. Akan tetapi ditengah perjalanan pada
pertengahan musim panas 1505 M Luther tiba-tiba meninggalkan studinya dan masuk
biara Augustinian di Erfurd. Di biara ini Luther memulai pencarian spiritual
dan identitas pribadinya, dan pencarian keselamatan, didalam kurungan aturan
biara yang disiplin dan ketat. Dia belajar kajian-kajian teologis disana dan
mempersiapkan diri untuk pentahbisan. Pada 1506 M Luther memutuskan untuk
menjadi biarawan.
Dalam menjalani kehidupan sebagai biarawan Luther mengalami
keraguan tehadap konsep keselamatan. Lither sangat mempercayai bahwasanya
keselamatan hanya tergantung pada iman dan bukan mempraktekan
pekerjaan-pekerjaan seperti berpartisipasi dalam misa, sakramen dsb. Dia
mempercayai bahwa iman itu diberikan bukan melalui perantara siapapun melainkan
langsung oleh Tuhan. Luther berpandangan bahwa Umat Kristiani dapat menemukan
makna kehidupan didunia hanya dengan membaca Alkitab dan iman tidak perlu yang
lain. Pemikiran yang dikemukakan Luther menjadi kontroversi dikalangan sesama
biarawan. Puncak kontroversi Luther terjadi ketika dia menempelkan 95 tesis
didepan pintu gereja Wittenberg pada tahun 1517 M. Isi dari tesis tersebut
adalah menentang seluruh gagasan mengenai penjualan surat pengampunan dosa yang
dianggap korup dan tidak benar secara teologis, argument Luther mengenai
peristiwa ini adalah bahwa keselamatan dapat diperoleh melalui perbuatan baik. Tindakan
ini ia lakukan karena sudah merasa sangat kesal atas praktek-praktek
penyimpangan yang dilakukan oleh Gereja Roma atas Alkitab. Luther sangat marah
karena ajaran Alkitab dinodai oleh orang-orang gereja, seperti adanya aktivitas
Gereja Katolik yang menjual surat pengampunan dosa untuk menambah kas pembangunan
Gereja Saint Peter di Roma.
Pada tahun 1520 M Luther keluar dari anggota gereja dan
membangun jemaat baru dan kemudian dia menerbitkan Address to the Chiristian Nobility of the Jerman nation. Luther
meminta Kaisar Roma dan para pangeran Jerman mereformasi gereja dan
menghilangkan kesetian kepada Paus. Tindakan ini membuat Gereja marah, Dewan
Roma dan Paus Leo X menolak semua keinginan Luther untuk mereformasi Gereja
Roma dan sekaligus pelarangan atas ajaranya. Gereja sangat menolak gagasan
Luther tetapi orang-orang Jerman mendukung gagasanya. Paus leo X yang benci
terhadap Luther meminta dan mendesak supaya mengkucilkan Luther, namun sebelum
pengucilan terjadi Kaisar Romawi Suci, Carles X memanggil Luther dan memintanya
untuk mengakui kesalahanya, Luther tidak mau mengakuinya. Atas sikap Luther
tersebut maka dimulailah konfrontasi Luther dengan Kaisar. Dibantu Oleh
Frederick, Luther bersembunyi di Kastil Wartburg, dan disanalah ia
menerjemahkan Injil Perjanjian Baru ke dalam Bahasa Jerman.[6]
Setelah mesin cetak ditemukan ajaran Martin Luther semakin
cepat berkembang dan menyebar keluar Jerman. Ajaran Luther cepat menyebar
karena gagasan pembaharuan yang dicetuskannya disukai banyak orang terutama golongan-golongan
yang dirugikan oleh praktek-praktek keagamaan Gereja. Bangsawan Jerman sangat
mendukung adanya Reformasi Gereja hal ini di latar belakangi adanya keinginan
Kaisar Romawi Suci, Carles V, untuk meluaskan wilayahnya ke Jerman dan juga
karena adanya dominasi orang-orang Italia dalam gereja. Kemudian dikalangan
petani Luther dianggap sebagai pahlawan dan pembela kaum tertindas, hal ini
dikarenakan Luther sering mengkritik tindakan Pangeran dan Gereja yang menindas
para petani. Karena tidak tahan lagi atas tindasan oleh Pangeran, Gereja dan
yang lainya pada tahun 1524 M, petani melakukan pemberontakan terbuka kepda
tuan-tuan tanah. Tindakan ini memunculkan kemarahan Luther yang pada dasarnya
seorang konservatif politis yang ragu menentang otoritas sekuler. Luther dan
bangsawan menyerang balik pemberontak tersebut dan memadamkannya. Konflik
antara Luther dan Gereja Roma akhirnya selesai atas campur tangan Kaisar Carles
V dengan melakukan perjanjian Ausburg (1555 M) yang memutuskan tiap pangeran
menentukan agama rakyatnya. Jerman Utara menjadi mayoritas protestan, Bavaria
dan wilayah selatan lainya tetap mengikuti Katholik Roma.[7]
Gerakan Reformasi Jerman menimbulkan semangat federalisme
yang akan memunculkan benih-benih nasionalisme dikalangan bangsawan Jerman.
Akibat dari dominasi Paus Eropa mengalami disintegrasi dan membagi Eropa dalam
beberapa Negara kecil. Maka kemudian timbul konsep hak ketuhanan Raja, dimana
mereka memiliki hak untuk memerintah dan warganya wajib mentaati. Luther
menyebutkan bahwa sifat hak tersebut adalah sacral dan merupakan lembaga
politik suci. Pemikiran inilah yang kemudian akan menumbuhkan benih-benih
absolutism baru (royal absolutism),
dan berdampak serius pada praktek dan pemikiran politik Barat dikemudian hari.[8]
Selain Martin Luther ada tokoh penting Reformasi Gereja di
Eropa yaitu John Calvin dan Loyola. Konsep Reformasi Luther di terima dengan
baik oleh teolog Prancis yaitu John Calvin. Calvinlah yang berperan besar dalam
penyebaran Reformasi Gereja diluar Jerman dan Skandinavia.
[1]
Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UHAMKA Jakarta.
Email
acepsaepul09@gmail.com
[2] Desvian
Bandarsyah, Laely Armiyati, Sejarah eropa
1, (Jakarta: Mita Abadi, 2014), hlm. 51.
[3]
Marvin Perry, Peradaban Barat dari Zaman
Kuno Sampai Zaman Pencerahan (Yogyakarta:Kreasi Wacana,2012),hlm.315.
[4] Ibid.,hlm.316.
[5]
Desvian Bandarsyah, Laely Armiyati, op.cit.,
hlm. 52.
[6] Ibid.,hlm. 53.
[7] Ibid.,hlm.54.
[8] Ibid.
Artikelnya amatttttt sangattttttt... STANDAR!
BalasHapusmantap tapp
BalasHapusoke, terimakasih ya. lebih baik standar dulu, nanti baru meningkat over standar.
BalasHapusterima kasih
BalasHapusAlhamdulillah, sangat membantu, makasih
BalasHapusTerimakasih ini sangat membantu tugas dari dosen saya.
BalasHapusTerimakasih
BalasHapusby:zega